Anak Burung Elang Hitam
Belanja di App banyak untungnya:
Kami mohon maaf atas kebingungannya, tetapi kami tidak bisa tahu apakah Anda adalah seseorang atau skrip.
Centang kotak ini dan kami akan berhenti menghalangi Anda.
Pesawat udara nirawak (Puna) Elang Hitam di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat, Desember 2019.
Pesawat udara nirawak (Puna) Elang Hitam ditargetkan terbang perdana pada akhir 2021. Drone dengan kemampuan tempur ini dinantikan untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang kian kompleks.
Dengan garis pantai sepanjang lebih dari 90.000 kilometer dan memiliki 17.000 pulau, Indonesia mempunyai tantangan pertahanan dan keamanan sangat kompleks. Penggunaan drone atau pesawat udara nirawak dengan kemampuan kombatan (tempur) menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar untuk menghadapi ancaman dari berbagai penjuru.
Pesawat udara nirawak Elang Hitam dirancang untuk menjawab kebutuhan itu. Pengembangannya mengedepankan kemandirian karya anak bangsa yang melibatkan sejumlah lembaga dalam sebuah konsorsium. Kemandirian penting untuk mengantisipasi potensi sabotase asing.
PT Dirgantara Indonesia (DI) ditugaskan memproduksi dan mengintegrasikan berbagai sistem yang ada. Pesawat dirancang dan diuji Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lembaga lain yang terlibat adalah PT Len Industri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Kementerian Pertahanan, Dislitbang TNI Angkatan Udara, dan Institut Teknologi Bandung.
Direktur Utama PT DI Elfien Goentoro mengatakan, pembuatan Elang Hitam menjadi salah satu program strategis nasional. ”Target terbang perdana pada akhir 2021,” ujarnya melalui keterangan tertulis di Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/9/2021).
Elang Hitam dirancang untuk terbang di ketinggian menengah dan terbang lama (medium altitude long endurance/MALE). Pesawat ini diproyeksikan menjaga teritorial negara di perbatasan.
Baca juga: ”Elang Hitam” Akan Patroli pada 2021
Ketinggian menengah berada pada 15.000-30.000 kaki. Pesawat dapat terbang selama 24-30 jam. Pada ketinggian ini terdapat pesawat lain, termasuk pesawat penumpang sehingga pesawat nirawak harus bisa mendeteksi dan menghindar jika ada pesawat lain di dekatnya.
Panjang Elang Hitam 8,3 meter dengan rentang sayap 16 meter. Kemampuan beroperasi secara otomatis membuatnya bisa lepas landas dan mendarat secara mandiri dalam berbagai kondisi landasan pacu.
Elang Hitam dirancang untuk terbang di ketinggian menengah dan terbang lama (medium altitude long endurance/MALE). Pesawat ini diproyeksikan menjaga teritorial negara di perbatasan.
Elang Hitam pertama kali diperkenalkan (roll out) di hanggar PT DI pada 30 Desember 2019. Semula uji terbang ditargetkan pada akhir 2020, tetapi molor hingga 2021. Pengembangan kombatan atau fungsi tempur dilakukan untuk memenuhi kebutuhan TNI AU.
Pesawat akan disertifikasi sebagai pesawat militer yang membawa senjata (unmaned combat aerial vehicle/UCAV) oleh Indonesia Military Airworthiness Authority Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Jika Elang Hitam dimodifikasi untuk keperluan sipil, Puna akan disertifikasi lagi di Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan (Kompas, 30/3/2020).
Elfien menyebutkan, penguasaan teknologi Elang Hitam dapat menjadi sarana bagi kemajuan teknologi pertahanan nasional. Secara bertahap, hal ini akan membangun kemandirian industri pertahanan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI.
Selain Elang Hitam, PT DI juga menjalankan dua program strategis nasional lainnya, yaitu pembuatan pesawat N219 Amphibi (N219A) dan Rudal Nasional. Kedua proyek ini, menurut rencana, akan mendapatkan sertifikasi pada 2024.
Baca juga: N219 Nurtanio Kian Dekat Jadi ”Jembatan Udara” Nusantara
Konsep pesawat N219 Amfibi
Bersama konsorsium Prioritas Riset Nasional (PRN), saat ini sedang dilakukan pengembangan sepasang kaki pelampung (floater) untuk N219A. Floater akan diletakkan di bawah badan pesawat sebagai pengganti roda pendarat sehingga dapat lepas landas dan mendarat di atas permukaan air.
Sementara program Rudal Nasional juga menjadi bagian pemenuhan kebutuhan alutsista TNI. Pengembangan rudal menggunakan jenis darat ke darat (surface to surface).
Mengutip laman bppt.go.id, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, Puna Elang Hitam merupakan upaya lompatan teknologi masa kini sebagai langkah menjangkau teknologi di masa depan menuju Indonesia emas pada 2045. Tujuan akhir dari konsorsium mengakomodir kebutuhan alutsista TNI, khususnya drone jenis kombatan yang sekelas dengan drone canggih milik Turki (AnKA), Amerika Serikat (Predator), dan Israel (Heron).
Hammam menyebutkan, pengembangan Elang Hitam memiliki tiga subkegiatan pendukung, yaitu pembangunan platform, flight control system (FCS) dan sistem misi, serta sistem senjata dan integrasinya. Ditargetkan terbang perdana pada tahun ini, pesawat itu diharapkan mampu mewujudkan misi kombatan pada 2025.
Pesawat udara nirawak (Puna) Elang Hitam di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat, Desember 2019.
Penggunaan pesawat tanpa awak yang dilengkapi fungsi tempur telah menjadi tren global. Tidak hanya untuk membentengi kedaulatan negara di kawasan perbatasan, tetapi juga difungsikan menyerang jantung pertahanan musuh.
November 2020, pesawat tanpa awak menyerang komandan Garda Revolusi Iran, Muslim Shahdan, tak jauh dari perbatasan Irak-Suriah. Serangan itu menewaskan Shahdan dan tiga pengawalnya. Pesawat itu diduga kuat milik Israel.
Serangan pesawat nirawak juga menggempur Nangarhar dan Kabul, Afghanistan, akhir Agustus 2021. Taliban mengecam Amerika Serikat atas serangan yang dilancarkan sebagai balasan atas bom bunuh diri di Bandara Kabul.
Kemajuan teknologi membuat ancaman pertahanan negara semakin canggih. Alutsista yang mampu mengawasi dan menyerang secara otomatis menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan di masa depan. Kehadiran Elang Hitam dinantikan untuk menjaga kedaulatan negara.
Baca juga: Pesawat Tanpa Awak AS Sikat Kelompok NIIS Khorasan